7/13/18

The Art of Self Acceptance

Kalau boleh jujur, sama sekali tidak mudah rasanya merangkai dan berbagi cerita ini dalam satu rangkuman blog. Tapi saya percaya, berbagi pikiran dan cerita personal selalu memiliki kekuatannya sendiri. So here goes my side of the story.

Jika dilihat kembali sekitar dua sampai tiga tahun ke belakang, rasanya cukup sedih. Pada tahun-tahun tersebut, saya ingat betul bagaimana saya merasa sangat insecure terhadap diri saya sendiri, terutama pada penampilan dan muka saya. Memang, tidak ada yang salah dengan penampilan atau muka saya secara tampilan fisik. Akan tetapi saya mengalami trauma yang menjalar pada perasaan ketakutan dan aksi saya akan menghindari tatap muka langsung dengan cermin, di manapun saya berada.

Pada tahun-tahun tersebut sangat sulit rasanya setiap kali berada di bangku belakang mobil, menatap cermin spion dan melihat refleksi bibir saya. Saya sangat tidak suka bibir saya. Atau ketika saya sedang berjalan di mall dan berjalan melewati cermin di lorong yang tentu saja langsung saya hindari sebelum saya bisa melihat refleksi diri saya di sana. Saya tidak suka melihat muka saya. Atau ketika tidak sengaja saya melihat refleksi muka saya pada handphone yang sedang mati, kamera depan yang tanpa sengaja terbuka, atau ketika orang lain mengambil foto saya secara tanpa saya sadari. Saya tidak pernah mau melihat hasil foto tersebut, karena saya tidak suka melihat refleksi penampilan saya di sana. Malah terkadang saya langsung merasa kesal dan meminta foto tersebut untuk segera dihapus sebelum saya sempat melihatnya. Saya merasa setidak nyaman dan setidak suka itu dengan muka dan penampilan saya.

Ada beberapa malam yang saya habiskan dengan menangis karena saya tidak suka dengan bibir saya, muka saya, dan penampilan saya. Rasanya kata-kata "Kamu cantik kok" yang terlontar dari orang-orang terdekat saya sangat, sangat, sangat tidak relevan dengan diri saya, sama sekali tidak dapat saya rasakan hal tersebut ada di dalam diri saya.

Titik balik saya dalam proses ini adalah ketika saya secara lambat laun sadar, bahwa membandingkan diri kita dengan orang lain tidak akan ada habisnya. Saya sadar hal ini membuat saya lelah secara fisik dan mental, lelah sekali. Saya akhirnya yakin bahwa hal itu tidak ada gunanya sama sekali. You are you. Secantik atau sehebat apapun seseorang, pasti tetap ada orang yang lebih cantik dan hebat lagi darinya. And the list keep goes on. Saya menyadari betapa banyak figur yang terlihat cantik tanpa kulit putih, bibir tipis kemerahan, bentuk muka yang lancip, atau apapun itu yang sudah biasa menjadi stereotype figur kecantikan. Saya baru kembali menyadari bahwa kebanyakan orang yang selama ini saya anggap cantik, ternyata tidak semua dari mereka memiliki fisik yang "sempurna". Saya sadar kecantikan mereka tercermin dari dalam diri mereka, dari aura positif yang mereka bawa.

Dalam proses penerimaan ini, saya tidak tinggal diam. Saya sadar bahwa semuanya dimulai dari diri sendiri. No one could do it better than our very own self. Saya seringkali menyimpan reminder-reminder di pikiran saya, di wallpaper handphone, di desktop laptop, dan di tempat-tempat yang mudah terjangkau oleh mata saya. Selain itu, dukungan dari orang-orang terdekat juga sangat membantu. Coba ceritakan apa yang menjadi beban pikiran ke orang terdekat yang paling kita percayai, ask for their help to always reminds us about positive thoughts.

Terakhir, jangan pernah lupa untuk bersikap baik kepada semua orang. Hold all of the nasty comments in our heads. Kita nggak pernah tau seberapa besar impact yang akan terjadi dari sebuah komentar kecil pada seseorang. Kind words cost nothing! :)